LENSARIAUNEWS.COM/Batam-Nukila Evanty, selaku Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG), melalui rilisan resminya yang kami terima pada hari Selasa (19/09-2023) “Meminta Pemerintah Berdialog” dalam penyelesain polemik serta “konplik” di Rempang Batam Propinsi Kepri.
Nukila Evanty atau sering dipanggil Kak Nukila adalah Putri Melayu Riau dan baru-baru ini telah mewakili masyarakat adat Indonesia untuk menghadiri UN Permanent Forum on Indigenous People’s di UN Office New York, Amerika , pada April 2023 lalu dalam rilis resminya menjabarkan pendapatnya bahwa ;
– Bentrokan terjadi antara warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau dengan aparat gabungan dari TNI, Polri dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam pada Kamis (7/9/2023). Peristiwa itu terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City. Berdasarkan hasil temuan Komnas HAM di dua sekolah yang terkena gas air mata saat ricuh terjadi, yaitu SMP Negeri 22 Batam dan SD Negeri 024 Galang ditemukan dampaknya terhadap para siswa, yang kemarin banyak pengaduan banyak siswa murid yang terkena gas air mata saat ricuh terjadi serta menimbulkan dampak traumatik kepada murid. Belum lagi disekitar kediaman tersebut banyak Balita dan Perempuan hamil dan menyusui yang tentunya rentan terhadap tembakan gas air mata.
Melihat konflik yang terjadi antara warga Rempang dengan pemerintah, mendorong lembaga Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), dan lewat Ketuanya , Nukila Evanty menyampaikan sebagai berikut;
Kami menyesali kejadian tersebut dan tindakan kekerasan secara tidak langsung berakibat pada perempuan dan anak-anak , semburan gas air mata dan menunjukkan kekuatan kekerasan dengan mempunyai senjata dan kekuasaan adalah perbuatan yang tidak mendidik bagi generasi muda dan penerus bangsa ini. Kan sudah ada UU Perlindungan Anak dari segala tindakan kekerasan apapun bentuknya. Perempuan pun harus dilindungi hak-haknya.
Kami melihat tangisan ibu-ibu yang ingin mempertahankan wilayah mereka. Kami juga menyesali pendapat dari beberapa tokoh yang mengabaikan asal muasal masyarakat adat (indigenous peoples) Rempang. Masyarakat adat asli Melayu Rempang. Melayu Rempang telah berdiam berpuluh-puluh tahun lamanya di Pulau Rempang, sudah turun temurun, hidup menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini.
“Masyarakat adat Melayu Rempang bersama dengan masyarakat adat di berbagai belahan dunia lainnya memang terus akan mengalami masalah yang sama yaitu lemahnya perlindungan hak-hak mereka termasuk pengakuan atas indentitas, cara mereka hidup, hak-hak mereka atas tanah ulayat, hutan , air sumber daya alam. Hak mereka selalu diabaikan dan dilanggar”, jika ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa penduduk yang berada di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang, itu keliru dan perlu diluruskan”.
Pemerintah perlu mengingat lagi Definisi Masyarakat Adat yang sudah diakui masyarakat internasional seperti tercantum dalam United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA) yaitu mereka pewaris dan pelaku budaya unik dalam cara berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan. Mereka tetap mempertahankan karakteristik sosial, budaya, ekonomi dan politik yang berbeda dari masyarakat dominan di mana mereka tinggal.
Pemerintah harus melihat kembali UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) bahwa masyarakat adat Rempang mempunyai hak untuk mempertahankan wilayahnya, mereka punya hak-hak baik secara individual maupun secara kolektif. Perlu diingat bahwa UNDRIP adalah sumber hukum internasional yang berisi pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional dan yang seharusnya diikuti oleh semua bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia.
Menurut kami pembangunan Rempang Eco City, mungkin maksudnya baik untuk pemerataan pembangunan. Namun, yang perlu diperhatikan secara serius adalah dampak sosial, ekonomi, secara lingkungan. Jika harus dilakukan relokasi, pemerintah seharusnya meminta restu terhadap Masyarakat adat Melayu Rempang. Pemerintah jangan melakukan penggusuran paksa, ini yang membuat Masyarakat keberatan.
Pemerintah, pebisnis harus memahami prinsip-prinisip dalam berbisnis yang sudah dimuat dalam UN Guiding Principles on Human Rights. Pebisnis swasta harus menghormati juga prinsip-prinsip HAM yang diakui dunia internasional tersebut. Jangan sampai ada extortion (ekstorsi) dan penggusuran paksa dalam kasus Rempang ini. Ekstorsi ini telah diatur dalam KUHP kita yaitu cara -cara mengintimidasi, membuat kita menjadi tidak nyaman dan aman, menawarkan sesuatu agar miliknya menjadi milik orang lain.
Secara hukum internasional, pemerintah eviction atau penggusuran tersebut sebagaimana disebut dalam Committee on Economic, Social and Cultural Rights, General Comment No 7 tahun 1997 menyebutkan definisi penggusuran paksa adalah pemindahan secara permanen atau sementara yang bertentangan dengan keinginan mereka masing-masing keluarga dan/atau komunitas dari rumah dan/atau tanah yang mereka tempati, tanpa penyediaan, dan akses terhadap, bentuk perlindungan hukum atau perlindungan lainnya yang sesuai.
Masyarakat internasional menyebutkan bahwa penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM terutama dalam hal ini konteks pelanggaran atas hak masyarakat adat Melayu Rempang.
Sering bahasa sebagai justifikasi adalah proyek ini atas nama pembangunan, dan masyarakat digusur , dipindahkan atau dikosongkan tanahnya.Namun, siapa yang menjamin kehidupan masyarakat Rempang akan lebih baik dengan adanya Rempang Eco City ?
Karena itu, atas nama Inisiasi Masyarakat Adat, ada beberapa rekomendasi yang perlu menjadi bahan pertimbangan, baik bagi pemerintah pusat, pemda atau pihak swasta yang akan membangun Rempang Eco City.
Pertama; menghormati hak-hak masyarakat adat Rempang terutama memberikan perlindungan bagi anak-anak dan perempuan, karena kejadian seperti ini akan menimbulkan trauma berkepanjangan dan bukan pendidikan yang baik untuk mengajarkan generasi penerus.
Kedua; meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah meminta maaf kepada masyarakat Melayu Rempang dan masyarakat Melayu di Kepulauan Riau secara luas atas perbuatannya yang telah menyakiti secara fisik dan mental, karena telah memaksa skema project ini.
Ketiga; pemerintah pusat dan pemda wajib menggunakan cara-cara yang persuasive dengan mengutamakan dialog yangbintens dan partisipatif serta menghormati hak-hak masyarakat adat Melayu Rempang.
Keempat; sebagai bentuk itikad baik pemerintah pusat dan daerah dalam menyelesaikan masalah ini, harus mematuhi free, prior dan informed consent (FPIC), maka tidak boleh ada penahananan, penangkapan dari para pemprotes serta mereka harus dibebaskan semua.
“Pada akhirnya kalau masyarakat adat Melayu Rempang tetap menolak, maka pemerintah harus legowo, terbuka dan tidak terus memaksakan kehendaknya”. Karena masyarakat Rempang sudah lama hidup bahagia walaupun tanpa investasi dan proyek yang ditawarkan ini.(Sumber : Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG).
(Rilis/Red LRN)