LENSARIAUNEWS.COM |JAKARTA – Mencari dan menegakkan keadilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Nyatanya, untuk mewujudkan tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bukanlah hal yang mudah. Dalam beberapa kasus khususnya penghukuman dalam kasus narkotika justru melahirkan ketidakadilan, ketidakpastian, dan tidak memberikan manfaat.

Kondisi ini jelas terlihat ketika baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) secara mengejutkan menganulir hukuman mati terhadap Aryo Kiswanto seorang bandar narkotika sabu sebanyak 137 kilogram menjadi 20 tahun penjara. Putusan kasasi MA ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menjatuhkan hukuman mati kepada Aryo Kiswanto.

Korting atau potongan hukuman dalam kasus narkotika praktiknya bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya MA juga membatalkan hukuman mati Pengadilan Negeri Bireun Nangroe Aceh Darussalam terhadap Jufriadi Abdullah, gembong narkoba internasional. Dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK), MA hanya menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara padahal Abdullah terbukti menyelundupkan 103 kilogram sabu dari Malaysia ke Indonesia.

Perubahan hukuman mati menjadi hukuman 20 tahun penjara sungguh ironis. Rupanya ketimpangan penjatuhan hukuman kasus narkotika masih sering terjadi khususnya di MA. Apalagi jika disandingkan dengan pelaku lain yang kapasitasnya bukan sebagai bandar narkoba atau kepemilikan barang terlarang tersebut jumlahnya lebih kecil.

Misal saja dalam kasus yang melibatkan Marry Jane, seorang buruh migran asal Filipina yang juga merupakan korban tindak pidana perdagangan orang, divonis hukuman mati oleh PN Sleman, Yogyakarta karena kepemilikan heroin sebanyak 2,6 kilogram. Vonis mati Marry Jane kemudian diperkuat hingga putusan kasasi dan PK di MA.

Sejalan dengan Marry Jane, muncul nama Merri Utami seorang pekerja migran Indonesia di Taiwan tidak mengetahui bahwa di dalam tasnya terdapat heroin seberat 1,1 kilogram. Merri Utami kemudian dijatuhi hukuman mati oleh hakim PN Tangerang.

Bertitik tolak pada kasus tersebut, kemudian menimbulkan kesan ketidakadilan dalam upaya penegakan hukum kasus narkotika. Wajar saja jika publik menilai keadilan dalam penegakan hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Disparitas (perbedaan) penjatuhan vonis hakim di beberapa kasus masih menemui ketidakadilan.

Upaya negara sekarang yang gencar-gencarnya memberantas narkoba demi generasi penerus bangsa, dilenyapkan seketika oleh hukuman ringan para gembong. Lantas, apa pertimbangan hakim MA dalam menjatuhkan hukuman ringan tersebut? Mengingat narkotika tersebut dalam jumlah besar dan ketentuan Pasal 114 UU Narkotika juga mengakomodasi pidana mati dan seumur hidup.

Penjatuhan hukuman hanya 20 tahun penjara kepada bandar narkotika juga layak dipertanyakan, mengingat pada 2021 lalu MA dan semua jajaran pengadilan di bawahnya juga telah mendeklarasikan pernah melawan narkoba (war on drugs).

Secara teori sistem hukum yang dianut di Indonesia yaitu civil law menitikberatkan pada hukum tertulis. Sehingga sumber hukum yang utama adalah peraturan perundang-undangan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kepastian hukumlah yang harus ditegakkan. Apa yang tertulis dalam undang-undang, itulah yang diterapkan. Sehingga dalam memutus perkara, hakim di negara kita tidak wajib mengikuti putusan-putusan hakim yang sebelumnya.

Lantas, apakah kondisi tersebut dapat dibiarkan begitu saja? Hal ini tentu berbeda dengan sistem hukum anglo saxon (common law) yang mengharuskan hakim mengikuti putusan-putusan yang telah ada. Konsekuensinya, perbedaan penjatuhan vonis dalam kasus yang sama jarang terjadi.

Dikatakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bila kedua belah pihak yang berperkara tidak lagi mengajukan upaya hukum. Upaya hukum yang paling akhir (upaya hukum luar biasa) adalah PK dan kasasi demi kepentingan hukum. Apapun hasil dari putusan PK dan kasasi demi kepentingan hukum sudah tidak bisa lagi diajukan upaya hukum yang lain. Sehingga putusan yang dihasilkan meskipun menurut masyarakat belum memenuhi rasa keadilan, putusan tersebut haruslah dianggap benar dan wajib dijalankan terdakwa.

Ketidakadilan dalam penjatuhan vonis terhadap pelaku kejahatan narkotika harusnya menjadi bahan evaluasi pimpinan MA beserta jajarannya. Adagium culpae poena par esto yang berarti hukuman harus setimpal dengan kejahatan, sebaiknya menjadi pedoman pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan agar sesuai dengan rasa keadilan.

Seluruh jajaran pengadilan sebaiknya diingatkan kembali tentang deklarasi perang melawan narkoba dan status narkoba sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Atas dasar hal ini pada masa mendatang tidak ada lagi hukuman ringan dan tidak menjerakan bagi pelaku kejahatan narkotika khususnya terhadap bandar. Pimpinan MA juga harus berani memberikan sanksi yang keras jika ada hakim maupun hakim agung yang tidak menghukum berat bandar narkotika.

Selain itu terlepas dari adanya pro dan kontra, pihak Kejaksaan Agung dapat melakukan upaya PK demi kepentingan hukum untuk menganulir hukuman 20 tahun penjara yang diterima oleh dua gembong narkotika yaitu Aryo Kiswanto dan Jufriadi Abdullah.*

Penulis:Rizandha Melati Putri mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *