LENSARIAUNEWS.COM |PEKANBARU – Pasca pengusiran anak-anak yang tampil dalam opera di sidang paripurna istimewa DPRD Riau dalam rangka HUT ke-66 Provinsi Riau, ternyata tidak ada permohonan maaf dari lembaga pemerintahan tersebut. Padahal “luka” yang ditorehkan tersebut bisa mendegradasi moral para penerus masa depan Riau.
”Saya aneh juga, dimana komisi perlindungan anak(KPA) yg digaji besar untuk kerja mereka? Dimana dinas yang menaungi bidang perlindungan perempuan dan anak? Penggiat kemanusiaan pembela anak-anak yang banyak di Riau ini,” ujar pimpinan Teater Selembayung, Fedli Azis kepada media ini, Minggu (13/8/2023).
Fedli mengatakan, sudah beberapa hari peristiwa itu terjadi, tidak ada konfirmasi, permintaan maaf atau sekadar basa-basi dari DPRD Riau mengajak kita untuk mendudukkan masalah ini,” jelasnya .
”Inilah Riau, wajah kita, wajah ibu yang dicabik-cabik semaksamun sengketa. Riau sedang sakit saat ini. Predikat Riau Layak Anak hanya bualan kosong para penguasa belaka,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, anak-anak jadi korban aksi tak berbudaya berupa pengusiran dari area sidang paripurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dalam rangka HUT ke-66 Riau, Rabu (9/8/2023). Anak – anak itu merupakan pemeran teater budaya dengan judul “Opera Tun Fatimah” dari Lembaga Teater Selembayung Pekanbaru.
Aksi pengusiran dilakukan saat kedatangan Gubernur Riau bersama rombongan. Padahal saat itu, mereka sedang beraksi, namun tiba-tiba dihentikan dan disuruh keluar dari ruangan paripurna.
”Kami seharusnya pentas di acara inti sidang paripurna setelah tari persembahan,” kata Sutradara sekaligus Pimpinan Teater Selembayung, Fedli Aziz kepada media ini , Kamis (10/8/2023).
Dikatakannya, beberapa hari sebelum acara, pihak Selembayung diminta untuk tampil lebih awal. Namun Fedli menolak dengan mengatakan, “Untuk apa kami tampil hanya ditonton jejeran kursi kosong?”.
Kejadian itu akhirnya memuncak pada hari pelaksanaan, dimana saat pertunjukan sudah dimulai sekitar 10 menit tiba-tiba dihentikan dengan alasan kedatangan Gubernur Riau.
Penghentian ini membuat aktor cilik yang sudah menantikan kesempatan bermain di depan tamu-tamu penting merasa sangat kecewa. “Mereka tadinya begitu bahagia bisa pentas di ruangan mewah dan ditonton banyak orang dewasa,” ungkap Fedli dengan nada sedih.
Ironisnya, setelah para aktor dan anak-anak diusir, rombongan gubernur baru memasuki ruangan lebih dari 20 menit kemudian. Sementara pertunjukan sebenarnya tinggal 5 menit lagi sebelum aksi pengusiran.
Penampilan teater Selembayung mementaskan “Opera Tun Fatimah”, yang juga melibatkan anak-anak sekolah dasar. Opera itu mengisahkan arogansi Mahmud I yang merenggut nyawa keluarga Tun Fatimah pada abad ke-16.
Peristiwa ini bertolak belakang dengan visi Riau yang akan memajukan kebudayaan serta sudah memasukkan kurikulum kebudayaan Melayu Riau ke sekolah – sekolah hingga perguruan tinggi.(ril)