LENSARIAUNEWS.COM |PEKANBARU – Istri kedua terdakwa Muhammad Syahrir yakni Juli Sasmita akhirnya hadir di persidangan perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang menyangkut suaminya di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (18/7).
Juli menghadiri sidang secara virtual dari Sumatera Selatan, tapi dirinya menolak memberikan kesaksian.
Pada persidangan kemarin, Hakim Ketua Salomo Ginting kembali memastikan hubuÂngan antara Juli Sasmita dengan Syahrir.
‘’Saya istri Pak M Syahrir,’’ ujar Juli Sasmita menjawab pertanyaan hakim dengan tegas. Hakim juga sempat menanyakan kesediaan Juli Sasmita untuk menjadi saksi bagi Syahrir.
‘’Saya tidak bersedia sebagai saksi Yang Mulia,’’ jawabnya. Didampingi Hakim Yuli Artha Pujoyotama dan Yelmi, Hakim Ketua Salomo Ginting yang memimpin sidang menerima
penolakan Juli Sasmita.
Menurut Salomo, sesuai Undang-Undang, Juli punya hak menolak bersaksi untuk keluarganya sendiri.
‘’Terdakwa juga tidak keberatan saudara mengundurkan diri. Silakan meninggalkan zoom,’’ kata Salomo setelah lebih dulu bertanya kepada Syahrir soal penolakan pemberian kesaksian istrinya itu.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU)Â Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dua kali memanggil Juli Sasmita untuk hadir di persidangan, tapi mangkir.
Juli menyampaikan penolakan tidak secara resmi, melainkan melalui penasehat hukum terdakwa. Alhasil, Hakim Salomo Ginting mengeluarkan surat penetapan pemanggilan paksa pada Senin (17/7).
Menurut hakim, Juli wajib hadir di persidangan untuk menyampaikan penolakannya bersaksi dan nanti majelis hakim yang akan menilai.
JPU KPK bersikeras menghadirkan wanita berusia 32 tahun tersebut karena yang bersangkutan telah memberikan keterangan kepada penyidik KPK yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Keterangan itu sudah disampaikan dengan benar dan ditandatangani oleh Juli Sasmita.
Selain Juli, JPU KPK Rio Fandi dan kawan-kawan juga menghadirkan dua saksi lainnya pada sidang kemarin.
Mereka adalah Lufita Putri, pegawai Direktorat LHKPN KP dan Niki Aldi selaku kuasa PT Pulau Kundur Perkasa di Sei Guntung, Kabupaten Indragiri Hilir.
Lufita diminta kesaksiannya terkait laporan harta kekayaan Syahrir sejak 2017 hingga 2020.
Pada 2017 hingga 2018 Syahril menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Maluku Utara, sedangkan 2019 hingga 2021 menjabat Kepala Kanwil BPN Riau.
Saat menjabat Kepala Kanwil BPN Riau, Syahrir menyampaikan penambahan harga kekayaan berupa tanah dan kendaraan. Namun sejak 2022, Syahrir tidak lagi melaporkan harta kekayaannyan.
‘’2022 belum ada laporan, batasan sampai 31 Maret 2023. Kalau pensiun, memang ada kewajiban melampirkan sampai akhir menjabat, tapi belum ada laporan,’’ jelas Lufita.
Dalam perkara JPU KPK mendakwa Syahrir menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya.
Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset. Selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau pada periode 2017 hingga 2022, Syahrir diduga telah menerima uang gratifikasi mencapai Rp20,9 miliar.
Atas perbuatannya, Syahrir dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.seperti dilansir dari riaupos.(red)